Pages

Semoga Indonesia Mencintaimu

Jumat, 06 September 2013


Deru angin melambaikan kerudung jingganya. Membawanya berlalu. Hanya menyisakan jejak dan seseorang yang mungkin saja belum mengenali wajah bermata sayu itu.
Lima belas tahun, lama untuk menyulam benang-benang waktu. Memendam sebuah harapan. Asa untuk dapat merangkul, menatapnya lekat-lekat dan memeluk tubuh hangatnya.
          Kabar tak lagi pernah menyentuh telinga. Hanya surat yang telah usang, tersusun dari untaian butir-butir syair syahdu. Sebagai obat penenang.
Kini hari telah beranjak dewasa. Masih terpaku di antara inai. Keletihan masih berbicara, merongrong meminta agar lepas dari belenggu. Sisa-sisa pacuan hidup hingga petang. Penyambung tali-tali hentakan nafas.

“Wan, Ibunya Rahim sudah kembali dari Arab!” teriakan itu memecahkan keheningan di tepi sungai.
“Aku sudah tahu!” jawabnya acuh
“Kau sudah tak peduli dengan kabar itu Wan?”
“Kau tahu, sudah berapa kali Aku meratap di setiap kebahagian Kalian?”
“Nenekmu yang memintaku untuk memanggilmu, Wan!”
“Nenek hanya berusaha untuk memberi setitik embun di tengah dahagaku. Padahal Dia juga sudah mengerti jawabannya!” Gerutunya sambil melempar batu kecil ke dalam sungai.
***
Makassar, 23 Juni 1996
Suara jengkrik meramaikan surau, memecah subuh. Langkah-langkah para pelakon hidup lembut menyapa tanah. Tunai telah diabdikan sebagai hamba. Sepoi angin membelai mukena kusut yang tak pernah tergantikan. Bukan karena tak ingin tapi tak mampu.
          Mentari telah lelah bersembunyi. Nampak dia sudah tak sabar menjadi saksi sandiwara-sandiwara sang khalifah hari ini. Dan awal bermula di sini. Pun akhir tak tahu akan berujung di mana.
         “Caya, Kita ke rumah Daeng Gaffar hari ini! Katanya siang ini Dia kembali dari Malaysia!” kata seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri di depan gubuknya, mengumpulkan helai-helai daun yang dijatuhkan angin.
              “Untuk apa?” tanya perempuan muda itu yang telihat tidak begitu antusias.
              “Bukankah Kau pernah bilang ingin mengadu nasib di perantauan?”
              “Ya, memang benar!”
          “Nah, coba Kita ke sana! Mungkin saja, Daeng Gaffar bisa berbagi pengalaman dan membantu Kita!”
            Daeng Gaffar memang telah kembali. Membawa butir-butir keringat yang telah berubah menjadi rupiah. Ya.. tak sedikit, cukup untuk menyekolahkan keempat anaknya dan menyumpal perut yang kadang tak bisa berkompromi dengan keadaan. Semakin menggiurkan kedua ibu muda itu.
***
            Dia telah siap, berkemas dengan kain-kain lusuhnya. Kalimat-kalimat yang terlontar dari Daeng Gaffar cukup meyakinkan dan menjanjikan. Dia akan pergi. Hanya membawa diri dan luka. Torehan seorang lelaki yang begitu dicintainya. Namun, pergi meninggalkannya. Dibawa oleh wanita pecundang dengan iming-iming harta.
            Materi, semua berawal dari materi. Tapi hidup sejatinya tak berujung bersama materi. Urusan perut memang terkadang mebalik logika. Luka karena materi dan berjuang untuk materi. Tapi, hanya untuk lelaki kecilnya. Untuk seuntai senyum. Nyantanya, bahagia lelaki kecil itu bukan karena materi tapi dekapan.
            “Kau yakin akan pergi, Nak?” tanya wanita tua yang sedari tadi memperhatikannya mengemasi barang.
            “Iya Bu! Keberangkatan ke Arab semuanya telah diurus oleh Daeng Gaffar! Caya pinjam uang dari Dia dulu!” Jawabnya mantap
            “Kau tak kasihan padanya?” sambil menoleh pada lelaki kecil yang sedang terlelap dalam sarung yang disematkan pada dua batang pegas.
            “Ini juga untuk Dia, Bu!” katanya sembari tersenyum
***
            Makassar, 15 April 2011
            Tiga tahun awal kepergiannya. Beberapa surat memang sampai. Namun, tak kunjung tiba kabar yang akan menghantarkannya pulang. Selang lima tahu berlalu. Semuanya hilang. Dan kini genap, hanya foto yang membuatnya mengenal dan merasa dekat dengan sosok itu tanpa tahu kapan dia akan kembali.
            Beningnya air yang jatuh dari bibir matanya. Menggenang membentuk lingkaran penuh tepat di atas gambar itu. Sebuah gambar yang menunjukkan senyum hangat. Membawanya berlari untuk mengadu dan mencari. Rindu dan kehilangan yang tak bisa ditahannya lagi.
            “Tetta, kapan Ibuku pulang?” tanyanya pada lelaki yang mulai dimakan usia itu. Lelaki yang mebuat sosok wanita yang dicintainya pergi jauh darinya.
            “Tetta juga kurang tahu, Nak! Nanti Tetta tanyakan. Kau tenang saja dan do’akan Ibumu di sana!”
            “Tetta, kira-kira bagaimana caranya agar Iwan bisa menghubungi Ibu?” tanyanya resah setengah merengek.
            “Memangnya Kau tak pernah membalas surat-surat yang dikirim oleh Ibumu?”
            “Iwan sudah sering mengirim surat!”
            “Nanti Tetta coba menghubungi agen yang mengirim Ibumu!”
***
            Saudi Arabia, awal Juni 1999
            Setelah bekerja selama kurang lebih tiga tahun. Lalu berpisah dari keluarga Syekh Hasan yang harus pindah ke Amerika Serikat. Dia mengambil keputusan besar untuk tetap tinggal di negara ini sambil mecari pekerjaan baru. Berkat istri Syekh Hasan, dia akhirnya bertemu dengan seorang lelaki yang bernama Azis.
            Menikah dengan lelaki keturunan Arab. Langkah berani yang tak pernah terpikirkan olehnya. Kebaikan hati lelaki itu meluluhkannya. Memberi secerca harapan suatu saat dapat menggandengnya pulang ke tanah air. Bertemu dengan permata hatinya.
            Nyatanya tak setiap kebaikan yang nampak berbuah manis. Pelecehan, kekerasan, dan penindasan hak-hak tak diindahkan. Tak ubahnya seorang budak. Suaminya terkadang lupa bahwa dia adalah seorang istri.
            Terpikir untuk lepas dari jeratan. Agen yang mengirimnya pun telah lenyap bersama tanggung jawabnya. Upaya untuk melapor ke KBRI nyaris terwujud. Tapi, saat kata “Halo!” sudah sempat terucap tiba-tiba cambukan menghantamnya. Tinju panas mendarat di pelipisnya. Dia diseret bagai pezina yang sudah siap untuk dirajam. Dikuncikan dalam sebuah kamar sempit yang sangat pengap.
***
            Agustus 2011
Daeng Gaffar telah wafat. Hanya menyisakan berita bahwa agen yang mengirim ibunya adalah agen ilegal. Keberuntungan memang tak bisa memilih dan itulah yang mereka rasakan. Rasa manis menjadi seorang tenaga kerja hanya cukup untuk dicoba tapi tidak untuk ditelan. Menambah pupusnya harapan seorang lelaki remaja.
Berkali-kali menyambangi rumah TKI yang telah berbahagia kembali ke kampung halaman. Sekedar untuk mendengar kabar “Ibu baik-baik saja!” tapi tetap nihil.
Di belahan dunia yang berbeda. Seorang wanita setengah baya sedang bergulat dengan takdirnya. Tubuh kurusnya menyisakan ketidakberdayaan. Suaminya pun tak lagi sudih berbaik hati padanya. Mencoba lari dari jeratan? Bukan satu dua kali dilakukannya.
Di tengah cerahnya pagi. Seorang lelaki remaja berusaha menyelesaikan tugasnya dengan baik. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih tepat pukul 10.00 di tanggal 17 Agustus 2011. Ketika Sang Saka berkibar. Berderet hormat dipersembahkan untuk Merah Putih Indonesia. Seketika itu pula, rasa pilu merasuk di hatinya. Air mata tiba-tiba merembes di sudut matanya. “Ah, perasaan apa ini?” gumamnya dalam hati. Dia kembali mencoba untuk tenang dan fokus menuntaskan semuanya.
Di jam dan waktu yang berbeda. Perempuan berusia sekitar 37 tahun ditemukan tergeletak di sebelah rumahnya. Dia menggeliat seperti ayam yang baru saja disembelih. Rupanya lompatan dari sisi jendela membuat tulang-tulangnya rapuh dan seketika remuk. Luka-luka menghiasi tubuhnya. Tak tahu apa yang meracuni kepalanya sehingga dia memilih untuk terjun dari lantai dua. Atau mungkin saja kebodohan itu bukan karena kehendaknya.
            Asuransi tak ada dan memang tak berlaku saat ini. Hanya asuransi dari Sang Pencipta lah yang betul-betul nyata bagi manusia yang telah melakukan investasi hingga penghujung waktunya. Orang-orang yang masih terenyuh berbondong-bondong menggotong tubuh ceking itu. 
            Upacara telah usai. Ketenangan belum jua menghampiri hati lelaki remaja itu. Senyum bangga nenek tak cukup menentramkannya. Merah putih telah berkibar dengan gagahnya. Tapi, ibu tak menyaksikan semua ini. menyisakan tanda tanya. Hanya satu harap. Semoga kau baik-baik saja ibu, Tuhan menyayangimu! Semoga Indonesia mencintaimu seperti aku menunjukkan bukti cintaku padanya hari ini. Bakti untukmu, untuk Indonesiaku, dan untuk Tuhanku.

N.A, 17 Agustus 2012 (Lomba Cerpen LPP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

WHAT TIME IS IT?

Tags

Most Reading

VISIT

Followers