Deru angin
melambaikan kerudung jingganya. Membawanya berlalu. Hanya menyisakan jejak dan
seseorang yang mungkin saja belum mengenali wajah bermata sayu itu.
Lima belas tahun,
lama untuk menyulam benang-benang waktu. Memendam sebuah harapan. Asa untuk
dapat merangkul, menatapnya lekat-lekat dan memeluk tubuh hangatnya.
Kabar
tak lagi pernah menyentuh telinga. Hanya surat yang telah usang, tersusun dari
untaian butir-butir syair syahdu. Sebagai obat penenang.
Kini hari telah
beranjak dewasa. Masih terpaku di antara inai. Keletihan masih berbicara,
merongrong meminta agar lepas dari belenggu. Sisa-sisa pacuan hidup hingga
petang. Penyambung tali-tali hentakan nafas.
“Wan, Ibunya
Rahim sudah kembali dari Arab!” teriakan itu memecahkan keheningan di tepi
sungai.
“Aku sudah
tahu!” jawabnya acuh
“Kau sudah tak
peduli dengan kabar itu Wan?”
“Kau tahu, sudah
berapa kali Aku meratap di setiap kebahagian Kalian?”
“Nenekmu yang
memintaku untuk memanggilmu, Wan!”
“Nenek hanya berusaha
untuk memberi setitik embun di tengah dahagaku. Padahal Dia juga sudah mengerti
jawabannya!” Gerutunya sambil melempar batu kecil ke dalam sungai.
***
Makassar, 23 Juni 1996
Suara jengkrik
meramaikan surau, memecah subuh. Langkah-langkah para pelakon hidup lembut
menyapa tanah. Tunai telah diabdikan sebagai hamba. Sepoi angin membelai mukena
kusut yang tak pernah tergantikan. Bukan karena tak ingin tapi tak mampu.
Mentari
telah lelah bersembunyi. Nampak dia sudah tak sabar menjadi saksi sandiwara-sandiwara
sang khalifah hari ini. Dan awal bermula di sini. Pun akhir tak tahu akan
berujung di mana.
“Caya,
Kita ke rumah Daeng Gaffar hari ini! Katanya siang ini Dia kembali dari
Malaysia!” kata seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri di depan gubuknya, mengumpulkan
helai-helai daun yang dijatuhkan angin.
“Untuk
apa?” tanya perempuan muda itu yang telihat tidak begitu antusias.
“Bukankah
Kau pernah bilang ingin mengadu nasib di perantauan?”
“Ya,
memang benar!”
“Nah,
coba Kita ke sana! Mungkin saja, Daeng Gaffar bisa berbagi pengalaman dan
membantu Kita!”
Daeng
Gaffar memang telah kembali. Membawa butir-butir keringat yang telah berubah
menjadi rupiah. Ya.. tak sedikit, cukup untuk menyekolahkan keempat anaknya dan
menyumpal perut yang kadang tak bisa berkompromi dengan keadaan. Semakin
menggiurkan kedua ibu muda itu.
***
Dia
telah siap, berkemas dengan kain-kain lusuhnya. Kalimat-kalimat yang terlontar
dari Daeng Gaffar cukup meyakinkan dan menjanjikan. Dia akan pergi. Hanya
membawa diri dan luka. Torehan seorang lelaki yang begitu dicintainya. Namun,
pergi meninggalkannya. Dibawa oleh wanita pecundang dengan iming-iming harta.
Materi,
semua berawal dari materi. Tapi hidup sejatinya tak berujung bersama materi.
Urusan perut memang terkadang mebalik logika. Luka karena materi dan berjuang
untuk materi. Tapi, hanya untuk lelaki kecilnya. Untuk seuntai senyum.
Nyantanya, bahagia lelaki kecil itu bukan karena materi tapi dekapan.
“Kau
yakin akan pergi, Nak?” tanya wanita tua yang sedari tadi memperhatikannya
mengemasi barang.
“Iya
Bu! Keberangkatan ke Arab semuanya telah diurus oleh Daeng Gaffar! Caya pinjam
uang dari Dia dulu!” Jawabnya mantap
“Kau
tak kasihan padanya?” sambil menoleh pada lelaki kecil yang sedang terlelap
dalam sarung yang disematkan pada dua batang pegas.
“Ini
juga untuk Dia, Bu!” katanya sembari tersenyum
***
Makassar, 15 April 2011
Tiga
tahun awal kepergiannya. Beberapa surat memang sampai. Namun, tak kunjung tiba
kabar yang akan menghantarkannya pulang. Selang lima tahu berlalu. Semuanya
hilang. Dan kini genap, hanya foto yang membuatnya mengenal dan merasa dekat
dengan sosok itu tanpa tahu kapan dia akan kembali.
Beningnya
air yang jatuh dari bibir matanya. Menggenang membentuk lingkaran penuh tepat
di atas gambar itu. Sebuah gambar yang menunjukkan senyum hangat. Membawanya
berlari untuk mengadu dan mencari. Rindu dan kehilangan yang tak bisa
ditahannya lagi.
“Tetta,
kapan Ibuku pulang?” tanyanya pada lelaki yang mulai dimakan usia itu. Lelaki
yang mebuat sosok wanita yang dicintainya pergi jauh darinya.
“Tetta
juga kurang tahu, Nak! Nanti Tetta tanyakan. Kau tenang saja dan do’akan Ibumu
di sana!”
“Tetta,
kira-kira bagaimana caranya agar Iwan bisa menghubungi Ibu?” tanyanya resah
setengah merengek.
“Memangnya
Kau tak pernah membalas surat-surat yang dikirim oleh Ibumu?”
“Iwan
sudah sering mengirim surat!”
“Nanti
Tetta coba menghubungi agen yang mengirim Ibumu!”
***
Saudi Arabia, awal Juni 1999
Setelah
bekerja selama kurang lebih tiga tahun. Lalu berpisah dari keluarga Syekh Hasan
yang harus pindah ke Amerika Serikat. Dia mengambil keputusan besar untuk tetap
tinggal di negara ini sambil mecari pekerjaan baru. Berkat istri Syekh Hasan,
dia akhirnya bertemu dengan seorang lelaki yang bernama Azis.
Menikah
dengan lelaki keturunan Arab. Langkah berani yang tak pernah terpikirkan
olehnya. Kebaikan hati lelaki itu meluluhkannya. Memberi secerca harapan suatu
saat dapat menggandengnya pulang ke tanah air. Bertemu dengan permata hatinya.
Nyatanya
tak setiap kebaikan yang nampak berbuah manis. Pelecehan, kekerasan, dan
penindasan hak-hak tak diindahkan. Tak ubahnya seorang budak. Suaminya
terkadang lupa bahwa dia adalah seorang istri.
Terpikir
untuk lepas dari jeratan. Agen yang mengirimnya pun telah lenyap bersama
tanggung jawabnya. Upaya untuk melapor ke KBRI nyaris terwujud. Tapi, saat kata
“Halo!” sudah sempat terucap tiba-tiba cambukan menghantamnya. Tinju panas
mendarat di pelipisnya. Dia diseret bagai pezina yang sudah siap untuk dirajam.
Dikuncikan dalam sebuah kamar sempit yang sangat pengap.
***
Agustus 2011
Daeng Gaffar
telah wafat. Hanya menyisakan berita bahwa agen yang mengirim ibunya adalah
agen ilegal. Keberuntungan memang tak bisa memilih dan itulah yang mereka
rasakan. Rasa manis menjadi seorang tenaga kerja hanya cukup untuk dicoba tapi
tidak untuk ditelan. Menambah pupusnya harapan seorang lelaki remaja.
Berkali-kali
menyambangi rumah TKI yang telah berbahagia kembali ke kampung halaman. Sekedar
untuk mendengar kabar “Ibu baik-baik saja!” tapi tetap nihil.
Di belahan dunia
yang berbeda. Seorang wanita setengah baya sedang bergulat dengan takdirnya.
Tubuh kurusnya menyisakan ketidakberdayaan. Suaminya pun tak lagi sudih berbaik
hati padanya. Mencoba lari dari jeratan? Bukan satu dua kali dilakukannya.
Di tengah
cerahnya pagi. Seorang lelaki remaja berusaha menyelesaikan tugasnya dengan
baik. Mengibarkan Sang Saka Merah Putih tepat pukul 10.00 di tanggal 17 Agustus
2011. Ketika Sang Saka berkibar. Berderet hormat dipersembahkan untuk Merah Putih
Indonesia. Seketika itu pula, rasa pilu merasuk di hatinya. Air mata tiba-tiba
merembes di sudut matanya. “Ah, perasaan apa ini?” gumamnya dalam hati. Dia kembali
mencoba untuk tenang dan fokus menuntaskan semuanya.
Di jam dan waktu
yang berbeda. Perempuan berusia sekitar 37 tahun ditemukan tergeletak di
sebelah rumahnya. Dia menggeliat seperti ayam yang baru saja disembelih.
Rupanya lompatan dari sisi jendela membuat tulang-tulangnya rapuh dan seketika
remuk. Luka-luka menghiasi tubuhnya. Tak tahu apa yang meracuni kepalanya
sehingga dia memilih untuk terjun dari lantai dua. Atau mungkin saja kebodohan
itu bukan karena kehendaknya.
Asuransi
tak ada dan memang tak berlaku saat ini. Hanya asuransi dari Sang Pencipta lah
yang betul-betul nyata bagi manusia yang telah melakukan investasi hingga
penghujung waktunya. Orang-orang yang masih terenyuh berbondong-bondong menggotong
tubuh ceking itu.
Upacara
telah usai. Ketenangan belum jua menghampiri hati lelaki remaja itu. Senyum
bangga nenek tak cukup menentramkannya. Merah putih telah berkibar dengan
gagahnya. Tapi, ibu tak menyaksikan semua ini. menyisakan tanda tanya. Hanya
satu harap. Semoga kau baik-baik saja ibu,
Tuhan menyayangimu! Semoga Indonesia mencintaimu seperti aku menunjukkan bukti
cintaku padanya hari ini. Bakti untukmu, untuk Indonesiaku, dan untuk Tuhanku.
N.A, 17 Agustus 2012 (Lomba Cerpen LPP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar