Berusaha
menembus derai angin. Melaju sekuat tenaga. Melejit di antara terpaan debu-debu
yang berniat menumbangkanku. Semakin kukepakkan, rasanya aku semakin sulit
untuk menyeimbangkan diri. Aku tidak tahu sudah berapa jauh aku menjelajah, aku
tak mengerti rute apa saja yang telah kulalui. Yang aku tahu, aku adalah
seorang penjelajah. Melayang, menepi, melaju, dan menari-nari di antara celah
langit dan bumi untuk mencari sesuatu yang baru.
Aku letih, kuputuskan untuk berhenti
sejenak. “Tapi dimana?” pertanyaan itu mengambang dalam benakku. Kusaksikan
bangunan-bangunan yang begitu megah di sekelilingku. “Uh, terik menyengat
tubuhku. Berkas cahayanya semakin menyilaukan mataku. Aku tak tahan lagi.” Aku
pun menerawang, mencari tempat untuk bernaung, yang akan membuatku agak lebih
nyaman.
Sepasang
penopangku semakin melemah, bergetar dan seakan-akan sulit untuk bergerak.
Tanpa sadar aku melayang, kehilangan daya dan nyaris menyentuh tanah. Namun,
segera kukumpulkan sisa-sisa tenagaku saat terlintas pemandangan elok di balik
jejeran besi-besi yang menjulang. “Sudah dekat!” pikirku menyemangati diri
sendiri.
Rosa
Damascena Mill tertata rapi di tanah lapang, begitu menyegarkan mata. Kuhampiri
setangkai di antaranya. Ingin
mereguk nektar untuk mengobati dahaga yang sedari tadi menggelayutiku. Aku pun mendarat dengan sempurna di
tepi mahkotanya. “Ah, nikmat sekali!”
Aku
berpindah dari tangkai yang satu ke tangkai yang lain. Lelah mencumbui Rosa Damascena Mill, kuputuskan untuk menepi.
Aku kembali melaju. Berhenti dan hinggap pada kayu yang mengapit sebuah bidang
datar yang cukup transparan.
***
Di balik kaca kusaksikan perempuan
setengah baya sedang asyik merangkai tumpukan Rosa Damascena Mill di atas meja dan di sisi ruang tengahnya. Sepertinya dia sangat menyukai tanaman
dari genus Rosa.
Aku sangat penasaran dengan apa yang
ada di dalam sudut-sudut rumah itu! Kukepakkan kedua sayapku mencari celah
untuk masuk kedalam. “Wah! Betul-betul wangi!” Kukelilingi tiap petak
ruangan.
Seorang gadis cantik nampak lalu
lalang di hadapannya, sambil meneguk segelas minuman dingin.
“Mawar, tolong petikkan beberapa
tangkai Rosa Alba yang ada di taman
belakang!” pinta wanita setengah baya itu kepada gadis yang sedang menikmati segelas
minuman yang ada di tangannya.
“Uh, Mama! Bunga lagi, bunga lagi!”
keluh gadis bernama Mawar tadi.
“Bunga ini mesti tiap waktu diganti!
Supaya enak dilihatnya!” kata perempuan itu.
“Lebih baik juga Edelweis! Tidak bikin repot kayak bunga-bunganya
Mama!” gerutu Mawar
“Sudah, kamu cepat ambilkan beberapa
tangkai untuk Mama! Ingat, pakai gunting!” pinta perempuan itu lagi..
Dalam hitungan menit, Mawar telah
kembali membawa Rosa Alba, meletakkan
tangkai-tangkai tersebut di samping mamanya dan bergegas pergi.
“Mau kemana?” tanya perempuan itu.
“Mau ambil obat merah, Ma!”
“Tertusuk duri lagi?”
“Iya, Ma!” jawab Mawar, singkat.
“Kamu dari dulu sampai sekarang,
susah sekali bersahabat dengan bunganya Mama! Tiap di suruh metik pasti tertusuk
duri!” celoteh perempuan itu pada anaknya.
“Mama kan tahu, Mawar tidak mengerti
masalah bunga-bunganya Mama itu!”
“Kamu itu perempuan, Mawar! Mestinya
kamu itu bantuin Mama. Antusias dong sama hobi Mama!”
“Mama, Mawar ini pemuja Edelweis dan tak suka dengan bunga mawar!”
“Edelweis
! Bunga yang susah dapatnya, malah kamu puja-puja!”
“Justru itu hebatnya Edelweis, Mama!” kata Mawar sambil masuk
kamar dan menutup pintunya.
***
Aku mengikuti gadis cantik yang
terlihat bergaya seperti seorang lelaki itu sampai ke dalam kamarnya, pengagum Edelweis ini membuatku bertanya-tanya. “Mengapa dia begitu berbeda dengan
ibunya?” Kulihat sebuah buku di atas
meja, buku itu terbuka tepat di halaman 78. Ada dua bait puisi indah yang
tertulis rapi di halaman tersebut. secarik kertas dan sebuah pulpen menutupi
halaman sebelahnya.
Sebab
dia bunga yang manja
Aku
pemuja edelweiss
Yang
hidup sepi di puncak gunung
Kemarilah
edelweisku
Datang
padaku, nanti di pusaraku
(Alto Makmuralto)
Puisi itu membuatku semakin mengerti mengapa Mawar begitu mengagumi edelweiss, terlebih lagi melihat tulisan Mawar pada secarik kertas yang ada di sebelah puisi tersebut.
(Alto Makmuralto)
Puisi itu membuatku semakin mengerti mengapa Mawar begitu mengagumi edelweiss, terlebih lagi melihat tulisan Mawar pada secarik kertas yang ada di sebelah puisi tersebut.
Aku
ingin hidup bak edelweiss
Sendiri,
sepi dengan wangi yang abadi
Tak
pernah terpikir untuk menyusahkan yang lain
Hanya
bisa memberikan bahagia bagi sekelilingnya
Kulihat mata Mawar mengarah
kepadaku. Sepertinya dia menyadari kehadiranku yang hinggap pada beberapa
tangkai edelweiss yang ada di atas
meja belajarnya. Dia tersenyum melihatku. Sepertinya dia mengagumi keindahanku.
Aku
memang indah, aku adalah Ornithoptera
Priamus Poseidon, warna hijau daun yang cerah dengan sedikit sentuhan warna
hitam menghiasi dua pasang serat halus yang tiap saat kukepakkan kala aku
berpetualang. Aku segera beranjak ke tempat yang lebih tinggi.
***
“Mama,
ini pendakian pertama Mawar! Bagaimana
mungkin mama tidak mau memberikan izin sama Mawar?” kata Mawar pada
ibunya dengan nada memelas.
“Kamu
masuk mapala juga tanpa sepengetahuan ayah dan mama kan?” gerutu perempuan
paruh baya itu, kesal.
“Pasti
kalau Mawar bilang ke Mama, tidak mungkin dapat izin!” jawab Mawar.
“Nah,
makanya, kamu tahu sendiri jawabannya! Kalau kamu memang tidak mau dengar Mama!
Kenapa minta izin sama Mama?” kataperempuan yang disapa Mama itu, geram.
“Yah
sudah! Kalau Mama tidak mau kasih Mawar izin, Mawar minta izinnya sama ayah
saja!”
“Terserah!”
perempuan itu makin kesal dan beranjak meninggalkan anak semata wayangnya yang
tengah duduk di kursi ruang tengah.
Sudah
beberapa hari aku menikmati tiap lompatan waktu di tempat ini. Aku betah
berlama-lama di sini. Tidak hanya karena tamannya yang begitu asri, tapi karena
aku tertarik dengan sosok gadis keras itu. Dia amat berbeda denganku yang
begitu menyukai tanaman dari genus Rosa.
Aku
bersembunyi di balik tirai yang terpasang di depan jendela kamar Mawar. Aku tak
ingin dia melihatku. Dia sedang mengemasi barang-barangnya. Sepertinya dia
betul-betul akan pergi. Dia memasukkan beberapa lembar pakaian dan makanan ke
dalam tas yang lumayan tinggi itu. Keras
kepala sekali anak ini! pikirku.
Aku
mengikuti Mawar yang sedang berjalan keluar kamar dengan tas yang telah
terpajang rapi di punggungnya. Dia melihat ibunya yang berdiri di ruang tengah
sambil menatap taman bunga dari balik jendela.
“Mama,
Mawar pergi dulu ya?”
“Iya!”
jawab perempuan itu, singkat.
Mawar
kemudian mencium pipi ibunya yang tidak sedikitpun menoleh kepadanya. Dia
kemudian beranjak pergi meninggalkan ibunya sendiri.
Aku
menyaksikan butiran bening meleleh dari kelopak mata perempuan itu ketika anak
perempuan satu-satunya itu berlalu meninggalkannya. Aku dengan cepat melaju,
mengejar Mawar. Aku tak ingin kehilangan jejaknya. Aku memang berniat mengikuti
kemana anak itu akan pergi.
***
“Wah!
Nekat sekali dia berpetualang sejauh ini!” pikirku. Aku menemukan satu kesamaan
dengannya yakni kami sama-sama suka bertualang. Aku lelah mengintai anak ini,
aku hinggap di sisi mobil yang tak terjangkau oleh matanya. Hingga akhirnya
aku, dia, dan teman-temannya sampai di sini. Tempat ini memang cukup jauh dari
pusat kota.
“Aku
sudah tidak sabar melangkahkan kaki di Gunung Latimojong!” kata salah seorang
teman laki-laki Mawar yang bernama Rio.
“Kalau
aku, sudah tidak sabar ingin menyaksikan bunga abadiku!” kata Mawar sambil
tersenyum penuh semangat.
“Sepertinya
kamu memang sangat mengagumi edelweiss!”
kata Rio pada Mawar
“Sangat!
Aku ingin mengumpulkan edelweiss
sebanyak-banyaknya untuk kubawa pulang!” semangat Mawar semakin menggebu. “Akan kugeser satu persatu tangkai-tangkai
bunga Mama yang ada di dalam rumah dengan bunga abadiku itu!” pikir Mawar,
dalam benaknya.
Mereka
pun mendaki menikmati hari di atas gunung, menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan.
Aku melihat beberapa saudara-saudaraku sedang hinggap di atas dedaunan. Mereka
mungkin tidak mengenaliku karena aku memang sosok yang baru di tempat ini.
“Hey,
itu ada edelweiss!” kata Mawar dengan
penuh semangat kepada teman-temanya.
“Jangan
Mawar! Itukan di tepi tebing, bahaya!” kata salah seorang teman Mawar
“Tidak
apa-apa! Tidak terlalu jauh kok!” kata Mawar yang kembali memperlihatkan sikap
keras kepalanya.
Dia
pun berusaha meraih edelweiss itu
dengan sekuat tenaga. Tapi, sepertinya kaki Mawar tidak kuat menopang tubuhnya
yang mengarah ke tebing, terdengar suara teriakan dan tergelincirlah Mawar ke
dalam jurang.
Semua yang
mengendap dalam benak. Hanya Mawar, edelweiss
dan kisah mereka. Mawar mungkin saja akan mengakhiri ceritanya. Dia bukan edelweiss yang untaian kisahnya tak
pernah berujung. Atau bisa jadi, edelweiss
akan menemaninya berkisah tentang bait-bait hidup yang masih cukup panjang.
Aku pun memutuskan untuk beranjak dan
melanjutkan petualanganku. Senang mengenalmu Mawar. Walaupun kau tak menyadari
keberadaanku tapi cerita itu akan selalu tercatat dalam jejak perjalananku
bertualang. (*)
-N.a-
-N.a-
Apakah akhirnya Mawar meninggal? Hmm ... sepertinya begitu, ya?
BalasHapusKeren, Ukh. Ini cocok untuk majalah GADIS. Coba deh dikirim ke sana. :)
Terserah pembaca mau mengakhiri kisah mawar seperti apa ukh.. :)
BalasHapus