Pages

Mawar Pemuja Edelweis

Minggu, 08 September 2013


Berusaha menembus derai angin. Melaju sekuat tenaga. Melejit di antara terpaan debu-debu yang berniat menumbangkanku. Semakin kukepakkan, rasanya aku semakin sulit untuk menyeimbangkan diri. Aku tidak tahu sudah berapa jauh aku menjelajah, aku tak mengerti rute apa saja yang telah kulalui. Yang aku tahu, aku adalah seorang penjelajah. Melayang, menepi, melaju, dan menari-nari di antara celah langit dan bumi untuk mencari sesuatu yang baru.
            Aku letih, kuputuskan untuk berhenti sejenak. “Tapi dimana?” pertanyaan itu mengambang dalam benakku. Kusaksikan bangunan-bangunan yang begitu megah di sekelilingku. “Uh, terik menyengat tubuhku. Berkas cahayanya semakin menyilaukan mataku. Aku tak tahan lagi.” Aku pun menerawang, mencari tempat untuk bernaung, yang akan membuatku agak lebih nyaman.
Sepasang penopangku semakin melemah, bergetar dan seakan-akan sulit untuk bergerak. Tanpa sadar aku melayang, kehilangan daya dan nyaris menyentuh tanah. Namun, segera kukumpulkan sisa-sisa tenagaku saat terlintas pemandangan elok di balik jejeran besi-besi yang menjulang. “Sudah dekat!” pikirku menyemangati diri sendiri.
            Rosa Damascena Mill tertata rapi di tanah lapang, begitu menyegarkan mata. Kuhampiri setangkai di antaranya. Ingin mereguk nektar untuk mengobati dahaga yang sedari tadi menggelayutiku. Aku pun mendarat dengan sempurna di tepi mahkotanya. “Ah, nikmat sekali!”
Aku berpindah dari tangkai yang satu ke tangkai yang lain. Lelah mencumbui Rosa Damascena Mill, kuputuskan untuk menepi. Aku kembali melaju. Berhenti dan hinggap pada kayu yang mengapit sebuah bidang datar yang cukup transparan.
***
            Di balik kaca kusaksikan perempuan setengah baya sedang asyik merangkai tumpukan Rosa Damascena Mill di atas meja dan di sisi ruang tengahnya. Sepertinya dia sangat menyukai tanaman dari genus Rosa.
            Aku sangat penasaran dengan apa yang ada di dalam sudut-sudut rumah itu! Kukepakkan kedua sayapku mencari celah untuk masuk kedalam. “Wah! Betul-betul wangi!” Kukelilingi tiap petak ruangan. 
            Seorang gadis cantik nampak lalu lalang di hadapannya, sambil meneguk segelas minuman dingin.
            “Mawar, tolong petikkan beberapa tangkai Rosa Alba yang ada di taman belakang!” pinta wanita setengah baya itu kepada gadis yang sedang menikmati segelas minuman yang ada di tangannya.
            “Uh, Mama! Bunga lagi, bunga lagi!” keluh gadis bernama Mawar tadi.
            “Bunga ini mesti tiap waktu diganti! Supaya enak dilihatnya!” kata perempuan itu.
            “Lebih baik juga Edelweis! Tidak bikin repot kayak bunga-bunganya Mama!” gerutu Mawar
            “Sudah, kamu cepat ambilkan beberapa tangkai untuk Mama! Ingat, pakai gunting!” pinta perempuan itu lagi..
            Dalam hitungan menit, Mawar telah kembali membawa Rosa Alba, meletakkan tangkai-tangkai tersebut di samping mamanya dan bergegas pergi.
            “Mau kemana?” tanya perempuan itu.
            “Mau ambil obat merah, Ma!”
            “Tertusuk duri lagi?”
            “Iya, Ma!” jawab Mawar, singkat.
            “Kamu dari dulu sampai sekarang, susah sekali bersahabat dengan bunganya Mama! Tiap di suruh metik pasti tertusuk duri!” celoteh perempuan itu pada anaknya.
            “Mama kan tahu, Mawar tidak mengerti masalah bunga-bunganya Mama itu!”
            “Kamu itu perempuan, Mawar! Mestinya kamu itu bantuin Mama. Antusias dong sama hobi Mama!”
            “Mama, Mawar ini pemuja Edelweis dan tak suka dengan bunga mawar!”
            “Edelweis ! Bunga yang susah dapatnya, malah kamu puja-puja!”
            “Justru itu hebatnya Edelweis, Mama!” kata Mawar sambil masuk kamar dan menutup pintunya.
***
           Aku mengikuti gadis cantik yang terlihat bergaya seperti seorang lelaki itu sampai ke dalam kamarnya, pengagum Edelweis ini membuatku bertanya-tanya. Mengapa dia begitu berbeda dengan ibunya?” Kulihat sebuah buku di atas meja, buku itu terbuka tepat di halaman 78. Ada dua bait puisi indah yang tertulis rapi di halaman tersebut. secarik kertas dan sebuah pulpen menutupi halaman sebelahnya.
 Aku bukan pengagum mawar
Sebab dia bunga yang manja
Aku pemuja edelweiss
Yang hidup sepi di puncak gunung

Kemarilah edelweisku
Datang padaku, nanti di pusaraku
(Alto Makmuralto)
             Puisi itu membuatku semakin mengerti mengapa Mawar begitu mengagumi edelweiss, terlebih lagi melihat tulisan Mawar pada secarik kertas yang ada di sebelah puisi tersebut.
            Aku ingin hidup bak edelweiss
            Sendiri, sepi dengan wangi yang abadi
            Tak pernah terpikir untuk menyusahkan yang lain
            Hanya bisa memberikan bahagia bagi sekelilingnya
         Kulihat mata Mawar mengarah kepadaku. Sepertinya dia menyadari kehadiranku yang hinggap pada beberapa tangkai edelweiss yang ada di atas meja belajarnya. Dia tersenyum melihatku. Sepertinya dia mengagumi keindahanku.
Aku memang indah, aku adalah Ornithoptera Priamus Poseidon, warna hijau daun yang cerah dengan sedikit sentuhan warna hitam menghiasi dua pasang serat halus yang tiap saat kukepakkan kala aku berpetualang. Aku segera beranjak ke tempat yang lebih tinggi.
***
            “Mama, ini pendakian pertama Mawar! Bagaimana mungkin mama tidak mau memberikan izin sama Mawar?” kata Mawar pada ibunya dengan nada memelas.
            “Kamu masuk mapala juga tanpa sepengetahuan ayah dan mama kan?” gerutu perempuan paruh baya itu, kesal.
            “Pasti kalau Mawar bilang ke Mama, tidak mungkin dapat izin!” jawab Mawar.
            “Nah, makanya, kamu tahu sendiri jawabannya! Kalau kamu memang tidak mau dengar Mama! Kenapa minta izin sama Mama?” kataperempuan yang disapa Mama itu, geram.
            “Yah sudah! Kalau Mama tidak mau kasih Mawar izin, Mawar minta izinnya sama ayah saja!”
            “Terserah!” perempuan itu makin kesal dan beranjak meninggalkan anak semata wayangnya yang tengah duduk di kursi ruang tengah.
            Sudah beberapa hari aku menikmati tiap lompatan waktu di tempat ini. Aku betah berlama-lama di sini. Tidak hanya karena tamannya yang begitu asri, tapi karena aku tertarik dengan sosok gadis keras itu. Dia amat berbeda denganku yang begitu menyukai tanaman dari genus Rosa.
            Aku bersembunyi di balik tirai yang terpasang di depan jendela kamar Mawar. Aku tak ingin dia melihatku. Dia sedang mengemasi barang-barangnya. Sepertinya dia betul-betul akan pergi. Dia memasukkan beberapa lembar pakaian dan makanan ke dalam tas yang lumayan tinggi itu. Keras kepala sekali anak ini! pikirku.
            Aku mengikuti Mawar yang sedang berjalan keluar kamar dengan tas yang telah terpajang rapi di punggungnya. Dia melihat ibunya yang berdiri di ruang tengah sambil menatap taman bunga dari balik jendela.
            “Mama, Mawar pergi dulu ya?”
            “Iya!” jawab perempuan itu, singkat.
            Mawar kemudian mencium pipi ibunya yang tidak sedikitpun menoleh kepadanya. Dia kemudian beranjak pergi meninggalkan ibunya sendiri.
            Aku menyaksikan butiran bening meleleh dari kelopak mata perempuan itu ketika anak perempuan satu-satunya itu berlalu meninggalkannya. Aku dengan cepat melaju, mengejar Mawar. Aku tak ingin kehilangan jejaknya. Aku memang berniat mengikuti kemana anak itu akan pergi.
***
          “Wah! Nekat sekali dia berpetualang sejauh ini!” pikirku. Aku menemukan satu kesamaan dengannya yakni kami sama-sama suka bertualang. Aku lelah mengintai anak ini, aku hinggap di sisi mobil yang tak terjangkau oleh matanya. Hingga akhirnya aku, dia, dan teman-temannya sampai di sini. Tempat ini memang cukup jauh dari pusat kota.
            “Aku sudah tidak sabar melangkahkan kaki di Gunung Latimojong!” kata salah seorang teman laki-laki Mawar yang bernama Rio.
            “Kalau aku, sudah tidak sabar ingin menyaksikan bunga abadiku!” kata Mawar sambil tersenyum penuh semangat.
            “Sepertinya kamu memang sangat mengagumi edelweiss!” kata Rio pada Mawar
            “Sangat! Aku ingin mengumpulkan edelweiss sebanyak-banyaknya untuk kubawa pulang!” semangat Mawar semakin menggebu. “Akan kugeser satu persatu tangkai-tangkai bunga Mama yang ada di dalam rumah dengan bunga abadiku itu!” pikir Mawar, dalam benaknya.
            Mereka pun mendaki menikmati hari di atas gunung, menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan. Aku melihat beberapa saudara-saudaraku sedang hinggap di atas dedaunan. Mereka mungkin tidak mengenaliku karena aku memang sosok yang baru di tempat ini.
            “Hey, itu ada edelweiss!” kata Mawar dengan penuh semangat kepada teman-temanya.
            “Jangan Mawar! Itukan di tepi tebing, bahaya!” kata salah seorang teman Mawar
            “Tidak apa-apa! Tidak terlalu jauh kok!” kata Mawar yang kembali memperlihatkan sikap keras kepalanya.
            Dia pun berusaha meraih edelweiss itu dengan sekuat tenaga. Tapi, sepertinya kaki Mawar tidak kuat menopang tubuhnya yang mengarah ke tebing, terdengar suara teriakan dan tergelincirlah Mawar ke dalam jurang.
Semua yang mengendap dalam benak. Hanya Mawar, edelweiss dan kisah mereka. Mawar mungkin saja akan mengakhiri ceritanya. Dia bukan edelweiss yang untaian kisahnya tak pernah berujung. Atau bisa jadi, edelweiss akan menemaninya berkisah tentang bait-bait hidup yang masih cukup panjang.
 Aku pun memutuskan untuk beranjak dan melanjutkan petualanganku. Senang mengenalmu Mawar. Walaupun kau tak menyadari keberadaanku tapi cerita itu akan selalu tercatat dalam jejak perjalananku bertualang. (*)

-N.a-

2 komentar

  1. Apakah akhirnya Mawar meninggal? Hmm ... sepertinya begitu, ya?

    Keren, Ukh. Ini cocok untuk majalah GADIS. Coba deh dikirim ke sana. :)

    BalasHapus
  2. Terserah pembaca mau mengakhiri kisah mawar seperti apa ukh.. :)

    BalasHapus

 

WHAT TIME IS IT?

Tags

Most Reading

VISIT

Followers