Banyak
orang mengatakan bahwa intelektual yang membuat seseorang menjadi ilmuan hebat.
Mereka salah. Yang membentuk ilmuan hebat adalah KARAKTER!
(Albert
Einstein)
Melihat realita yang ada sekarang ini.
Manusia didorong untuk berlomba dengan peradaban. Hedonisme terlihat semakin menjerumuskan
masyarakat dalam hal-hal negatif. Pondasi yang kuat sangat diperlukan untuk
menyeimbangkan aspek-aspek kehidupan dan membentuk karakter yang nyata, agar
dapat menopang eksistensi kita di tengah era globalisasi.
Untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang tangguh bukan hanya bagaimana agar mereka mampu berpikir, menjadi pelakon
dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan melainkan bagaimana pendidik
membentuk SDM secara lebih komprehensif salah satunya adalah karakter SDM.
Karakter ibarat akar pada sebuah pohon. Menjalar
dan mencengkeram dengan erat di antara lapisan tanah,. Mampu membuat pohon
tumbuh, berdiri tegak dan akan semakin kuat jika dirawat dengan baik.
Karakter adalah modal keberhasilan dan
salah satu penunjang kemajuan bangsa. Manusia yang berkarakter mampu bertahan
serta menghadapi berbagai tantangan.
Menyadari esensi dari keberadaan
manusia berkarakter. Maka pemerintah mulai menggalakkan penerapan pendidikan
berkarakter pada jenjang pendidikan formal. Nyatanya, inti dari keberhasilan
pendidikan karakter sebenarnya bukan terletak dari sejauh mana kurikulum dan pendidikan
berkarakter tersebut diimplementasikan dalam pendidikan. Tapi, seperti apa
karakter dan sosok para pendidik dalam mendidik putra-putri bangsa.
Konsentrasi kita selama ini tertuju
pada pemerataan pendidikan berkarakter tanpa memperhatikan bagaimana pendidikan
berkarakter tersebut diterapkan oleh para pendidik. Saling menyalahkan sering
kali terjadi, ketika carut-marut dunia pendidikan kita kembali tampak. Padahal
yang dibutuhkan adalah sinergisnya hubungan tri pusat pendidikan serta
kesadaran dari setiap pendidik.
Bagaimana seorang anak didik mampu
menjadi pribadi yang bertanggung jawab apabila pendidik sendiri tidak mengerti
akan arti tanggung jawab. Karena itu, idealnya harus terlihat sosok guru yang
bertanggung jawab, orangtua yang bertanggung jawab dan pemerintah yang
bertanggung jawab. Begitupun dalam membangun karakter-karakter lainnya.
Mendidik merupakan tugas bersama. Namun,
guru lah yang memegang peranan
terpenting dalam pendidikan. Guru dituntut untuk membentuk genarasi yang
intelek dan berkarakter. Seorang pakar pendidikan Belanda Dr. G.J. Nieuwenhuis mengatakan “Suatu bangsa tidak
akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban
untuk keperluan bangsanya.” Dua kata kunci untuk kemajuan bangsa yakni “guru” dan
“pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru
yang suka berkorban.”
Pengorbanan,
Jika kita berpikir secara idealis guru memang selayaknya diidentikkan dengan
pengorbanan. “Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa” seperti itu lah
potongan lagu kebangsaan para guru (Himne Guru). Guru sebagai pelita dalam
kegelapan, guru sebagai embun penyejuk dalam kehausan. Betapa mulianya seorang
guru. Tapi yang terjadi sekarang, realitas mulai menggeser makna dari
lirik-lirik lagu tersebut. Guru seperti kehilangan jati dirinya. Hanya
memikirkan bagaimana menggugurkan tanggung jawab tanpa mencari cara untuk
menjalankan tanggung jawab tersebut dengan baik, tentunya melalui karakter-karakter
kependidikan.
Guru harus memiliki tekad dan niat yang
tulus untuk menyalamatkan generasi bangsa bukan sekedar meraup keuntungan tapi
menjalankan amanah dengan penuh kesadaran. Dalam bukunya Menjadi Guru Berkarakter (2011), Dr. Uhar Suharsaputra menyampaikan
bahwa Guru Berkarakter sesungguhnya
bukanlah sesuatu yang bersifat to be or not to be,
melainkan a process of becoming.
Menjadi guru berkarakter adalah orang yang siap untuk terus-menerus meninjau
arah hidup dan kehidupannya serta menjadikan profesi guru sebagai suatu
kesadaran akan panggilan hidup. Guru berkarakter senantiasa berusaha dan
berjuang mengembangkan aneka potensi kecerdasan yang dimilikinya.
Guru sebisa mungkin memberikan contoh,
teladan dan nilai-nilai spiritual untuk mengokohkan karakter anak didiknya.
Karakter yang telah ternanam sejak dini melalui contoh dan pembiasaan akan
melekat pada diri anak.
Oleh sebab itu, sebelum menanamkan
pendidikan berkarakter terlebih dahulu guru harus memiliki karakter yang kuat.
Dalam bukunya, Guru yang Berkarakter Kuat,
(2010). Hawari Aka mengemukakan lima
poin yang menunjang kuatnya karakter seorang guru yakni the power of niat, the power of learning, the power of
motivasi, the power of empati dan the
power of komitmen.
The
power of niat, niat menjadi sentral bagi seluruh
aktivitas manusia. Tuhan tidak menilai perbuatan manusia dari lahirnya, namun
dari sesuatu yang tersembunyi yaitu dari niat dan motivasinya.
The
power of learning, learning dalam hal ini memiliki
tiga pilar yakni pertama, pertumbuhan yang mana pendidikan harus mampu
menciptakan orang-orang yang dewasa. Orang-orang yang mampu bertanggung jawab
untuk orang lain. Kedua, pengembangan yakni keberhasilan suatu proses
pembelajaran ditandai mampunya pendidikan menciptakan orang-orang yang sukses
(orang sukses itu membagi kesuksesannya pada orang lain). Ketiga, pemberdayaan
yakni melihat potensi yang ada (tidak menyamaratakan potensi) atau keunikan
dari tiap anak kemudian memotivasi agar anak jauh lebih berkembang. Karena itu,
guru harus bisa menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan dinamis sehingga
learning itu berubah menjadi the magic of learning yang memberikan
kekuatan yang luar biasa pada seseorang dalam belajar.
The
power of motivasi, motivasi yang
ditiupkan ke dalam jiwa seseorang akan mempengaruhi jiwa orang tersebut dan
pada akhirnya membentuk orang itu menjadi apa yang ia kehendaki. Motivasi akan
membangkitkan kepercayaan diri serta memberikan dorongan yang sangat kuat
kepada jiwa-jiwa yang memberikan ruang untuknya.
The
power of empati, orang yang kita hormati dan
hargai sering kali menjadi teladan bagi kita. “Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari” ungkapan tersebut menandakan bahwa segala pola tingkah laku
guru adalah magnet yang akan menyedot perhatian murid. Bahkan respon dan
kata-kata guru yang terlontar saat menghadapi murid juga sangat besar
pengaruhnya karenanya menghormati murid merupakan cermin akhlak yang terpuji
dan menghargai jerih payah murid merupaka wujud motivasi yang kita berikan
kepada meraka (respek).
The
power of komitmen, pendidik harus
memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan memegang amanahnya. Memiliki
kesadaran dan keinginan yang kuat untuk menuntaskan tugas serta menjadikan
murid-muridnya sebagai murid-murid yang terbaik
Namun, dari serentetan uraian di atas,
ada satu kata yang amat penting dalam mendidik yakni “ikhlas”. Pendidikan
memang membutuhkan keikhlasan.
“Kami
ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlas kan pula niat untuk mau dididik”.
Keikhlasan adalah perjanjian tidak tertulis antara guru dan murid. Keikhlasan
bagai kabel listrik yang menghubungkan guru dan murid. Dengan kabel ini aliran
ilmu mengucur. Sementara aliran pahala yang deras terus melingkupi para guru
yang budiman dan murid yang khidmat (dikutip
dari sistem pendidikan Pondok Madani Gontor dalam novel Negeri 5 Menara).
Ketika kelima kekuatan tersebut telah
menjadi pegangan para tenaga pendidik dan dijalani dengan ikhlas, insyaallah pendidikan
di Indonesia akan mewujudkan Indonesia yang lebih berkarakter.
“Selamat berjuang para pendidik dan
generasi muda calon pendidik!”
(Opini, Tribun Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar