Pages

Laki-Laki Penghuni

Selasa, 24 September 2013



Katakan sebelum subuh, Kau akan datang
Memperdengarkan suara-suara malaikat
Menyebar gelombang bunyi yang menggerakkan
Membisikkan sayup-sayup lembut yang menggetarkan

Katakan selepas magrib, Kau akan kembali
Mengetuk pintu yang tak pernah lagi terketuk
Di jalan yang tak lagi di basuh dengan tumpuan kaki
Kepada rumah yang tak lagi dihuni oleh laki-laki

Katakan diawal Isya, Kau akan ada
Mendendangkan dzikir di sudut sunyi
Menguntai do’a di tepi damai
Menjamu malaikat dengan wangi-wangi yang manja

Rindu (Not Mati)



Melodi yang sangat menyayat
Ketika berakhir pada not yang mati
Bernyanyi rasa, mengalunkan bait
Bilakah Kau tahu.
Satu persatu not bergerak semakin cepat
Seperti kejaran tarikan nafas
Beradu memecah hening
Terkunci mati ketika hela terhenti di ujung
Bukan untuk tiada
Tapi kalimat bertitik pada diam
Selepas itu. Binasa termakan rindu.

Membunuh Aku

Aku bukan segala
Ketika Kau berlalu menghujam
Beratus-ratus jeruji Kau patah
Layaknya Hercules yang menghantam
Aku bukan segala
Ketika Kau (yang lain) mengapit
Beriringan meremukkan batu dengan hati
Bukan superhero tapi superior
Membunuhku dengan persembahan.

Sore

Kamis, 12 September 2013

        Oleh: Abd. Kadir Jaelani

Selalu banyak imaji tentang waktu sore, 
Sebagai bentuk penghargaanku pada waktu sore, 

Kuingin memandangi senja sambil merajuk mimpi tentang malam,
Sampai senja kembali pada pelukan sang malam 
Menemukanku dalam napas penuh harap,

Jika toh senja belalu namun ada tapak yg terlupakan, 
Dengan ini saya meminta maaf pada sang mentari

                                                               "AKJ"

Kasihan

Rabu, 11 September 2013

Kita berada pada jalan yang salah.
Saat bertapak-tapak jejak
Aku yang tersungkur
Bebaring terkulai karena bermain sajak
Kau mengayuh semakin cepat
Bergelirya dari segala tak mengenakkan
Pandai mencari bahagia,
Lupa belajar bersedih
Tak seperti nyonya
Enggan mengecap senyum
Sungguh, kasihan.

Di Pelipir Jalan

Selasa, 10 September 2013


             Oleh: Muhajir

di pelipir jalan persinggahanmu
bergeming memanggul beban jiwa
memagut malam yang tiada suam


ah, baju dan kulitmu yang tipis kumal digerayangi angin malam
masih tangguhka kesabaranmu menahan siksa semesta
sementara harapan yang kau pagut belum megar


seandainya saja tak ada lagi jiwa-jiwa peka 
akankah kau masih bertahan dipelipir jalan
melebur bersama malam dan ketakpastian hidup

Mawar Pemuja Edelweis

Minggu, 08 September 2013


Berusaha menembus derai angin. Melaju sekuat tenaga. Melejit di antara terpaan debu-debu yang berniat menumbangkanku. Semakin kukepakkan, rasanya aku semakin sulit untuk menyeimbangkan diri. Aku tidak tahu sudah berapa jauh aku menjelajah, aku tak mengerti rute apa saja yang telah kulalui. Yang aku tahu, aku adalah seorang penjelajah. Melayang, menepi, melaju, dan menari-nari di antara celah langit dan bumi untuk mencari sesuatu yang baru.
            Aku letih, kuputuskan untuk berhenti sejenak. “Tapi dimana?” pertanyaan itu mengambang dalam benakku. Kusaksikan bangunan-bangunan yang begitu megah di sekelilingku. “Uh, terik menyengat tubuhku. Berkas cahayanya semakin menyilaukan mataku. Aku tak tahan lagi.” Aku pun menerawang, mencari tempat untuk bernaung, yang akan membuatku agak lebih nyaman.

"Pendidik" Berkarakter


Banyak orang mengatakan bahwa intelektual yang membuat seseorang menjadi ilmuan hebat. Mereka salah. Yang membentuk ilmuan hebat adalah KARAKTER!
(Albert Einstein)

Melihat realita yang ada sekarang ini. Manusia didorong untuk berlomba dengan peradaban. Hedonisme terlihat semakin menjerumuskan masyarakat dalam hal-hal negatif. Pondasi yang kuat sangat diperlukan untuk menyeimbangkan aspek-aspek kehidupan dan membentuk karakter yang nyata, agar dapat menopang eksistensi kita di tengah era globalisasi.

Semoga Indonesia Mencintaimu

Jumat, 06 September 2013


Deru angin melambaikan kerudung jingganya. Membawanya berlalu. Hanya menyisakan jejak dan seseorang yang mungkin saja belum mengenali wajah bermata sayu itu.
Lima belas tahun, lama untuk menyulam benang-benang waktu. Memendam sebuah harapan. Asa untuk dapat merangkul, menatapnya lekat-lekat dan memeluk tubuh hangatnya.
          Kabar tak lagi pernah menyentuh telinga. Hanya surat yang telah usang, tersusun dari untaian butir-butir syair syahdu. Sebagai obat penenang.
Kini hari telah beranjak dewasa. Masih terpaku di antara inai. Keletihan masih berbicara, merongrong meminta agar lepas dari belenggu. Sisa-sisa pacuan hidup hingga petang. Penyambung tali-tali hentakan nafas.
 

WHAT TIME IS IT?

Tags

Most Reading

VISIT

Followers