Malam itu aku
diserang oleh kepungan meteor. Satu persatu dari meteor itu menghunus tubuhku
dengan kilatan cahayanya. Ternyata, di belahan planet yang disebut bumi,
lucutan-lucutan meteor dinantikan oleh manusia. Mereka bersorak-sorai. Anak-anak
tekuk dalam do’a, begitupun yang tua memanjatkan harapan-harapannya. Mereka
percaya bahwa meteor yang melesat; bintang jatuh adalah waktu yang tepat untuk
mencuap semoga.
Seorang
anak kecil bertubuh gempal berjalan
terseok-seok mengejar lesatan yang begitu cepat ̶ malam itu adalah malam ke 10
dia berdo’a di bawah bintang jatuh. Semenjak ibunya bercerita bahwa kita bisa
menanam harapan pada bintang jatuh, dia selalu menantikan malam-malam dengan
kilatan cahaya pengharapan.
Dia
menuliskan semua harapan-harapannya pada buku dengan sampul lusuh ̶ bergambar
diriku yang sudah tak utuh; serupa diriku yang sabit karena sobek. Setiap kali
dia berdo’a di malam langka itu, dia selalu mencoret do’a yang telah dia
panjatkan. Namun, anehnya dari 10 doa yang telah dia tunaikan malam itu tak ada
satu pun yang terwujud.
Sesekali
dalam mimpi setelah berdo’a pengharapannya datang menyapanya, kemudian dia terbangun
dengan kenyataan yang kembali harus dia hadapi sendiri. Beberapa hari yang
lalu; kali terkahir ibunya datang lalu pergi lagi. Bukan salah ibu, bukan pula
salahnya jika sendiri, dan tetap saja dia mempercayai kata-kata wanita bergincu
merah itu tentang do’a dan bintang jatuhnya.
***
Malam
itu, dia datang ̶ itu malam pertama aku mengamuk dihadapannya. Aku tak ingin
hidup bersama wanita seperti itu. Aku sudah kehilangan ayah yang baik dalam
anganku; ayah yang memang tak pernah kukenali.
Aku
mengamuk seperti meraung-raung karena tak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku
menulis dalam bulan ̶ kusampaikan padanya yang bertengger di langit semuak
onggokan sampah yang membuatku sesak.
“Kau
tahu bulan, dari dulu aku berpikir bahwa kaulah ciptaan Tuhan yang paling
bahagia!” Aku mengusap sang bulan.
“Kenapa?”
Bulan menanyaiku penasaran, dia merapat padaku.
“Kau
mampu menyaksikan bintang jatuh setiap saat, Kau mungkin sudah mengatupkan
berjuta-juta do’a sejak kau terpajang di sana”. Aku terkekeh sendiri bercoleh
seperti itu pada bulan.
“Yah,
itu menurutmu! Kau tak tahu saja aku di sini jenuh, hanya bisa melihat kau
tanpa bisa bermain!” Bulan melanjutkan tawaku, dia sepertinya tergelitik dengan
perkataannya sendiri.
“Kau
jenuh? Aku juga jenuh dengan diriku”. Aku membelakangi bulan, kurebahkan
badanku di atas kasur yang kapuknya sudah beterbangan.
“Kau
tak boleh berkata seperti itu, aku di sini menyaksikan begitu banyak anak
serupa dirimu dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menerangi mereka di kala
malam. Kadang-kadang aku pun harus menyaksikan mereka meringis dan kesakitan.
Sungguh menyesakkan”. Bulan murung, dia terlihat begitu sedih. Aku merasa
bersalah telah bercerita padanya tentang kepedihan.
***
Malam
itu dia datang, membawa makanan kemudian keesokan harinya dia pergi lagi. Aku
tak pernah sudih memakan makanannya semenjak dia melakukan itu di depan mataku.
Tapi, lagi-lagi aku tak dapat bicara. Aku hanya mampu membanting-banting setiap
benda yang ada di dekatku dan memukul-mukul diriku agar dia mengerti bahwa aku
sangat kesal padanya.
“Nak,
tenanglah-tenanglah!” Katanya sambil berusaha untuk memelukku. Aku elakkan
pelukannya, aku hempaskan tangannya yang berusaha membelaiku. Aku
berteriak-teriak tanpa kekata yang teratur hurufnya. Tak ada yang mampu
mengerti bahwa aku sakit. Batinku sesak, fisikku pun lelah.
“Ini
kertas sayang, Kau tulis di sini yah! Ibu tunggu, tapi kau tenang dulu!” Wanita
itu memberikan pulpen dan secarik kertas kosong padaku. Aku remuk kertas itu,
aku lempar pulpennya. Aku letih menulis, aku letih sendiri.
Aku
tak tahu kenapa aku seperti ini. Setiap kali melihat wajahnya aku merasa jijik.
Aku membenci diriku. Dia yang membuatku terlahir tanpa dapat di peluk oleh
ayahku sendiri. Ayah pun enggan mengakui aku sebagai putrinya. Setelah ayah
pergi dia semakin menjadi, aku pun semakin membencinya. Andai saja ayah
membawaku pergi; ikut bersamanya. Tapi, menoleh padaku pun ayah sepertinya tak
selera.
Di
dalam hidup kita kadang menemukan pilihan-pilihan. Walau aku sendiri tak punya
tawaran untuk memilih wanita atau pun lelaki ̶ kusebut ayah. Hidup bersamanya;
seorang wanita adalah hadiah terbaik untukku. Tapi, semenjak malam-malam
setelah itu ̶ aku menjadi tahu alasan ayah membenciku.
***
Malam itu, kala
kelam kian menohok. Seorang wanita masuk dengan tergopoh-gopoh, dia dirangkul
oleh seorang pemuda. Aku pikir pemuda itu lebih tepat kusebut kakak dan wanita
itu lebih pantas menyebutnya denga sapaan Nak.
Tapi, ketika aku melihat pemuda itu mengecup wanita yang layak menjadi ibunya ̶
dadaku sesak, aku ambruk. Wanita itu menggiringnya masuk ke dalam kamar, aku
meringis dan menangis sejadi-jadinya.
Selama
ini aku selalu mencari ayahku tapi kali ini aku sudah paham. Mengapa ayahku tak
pernah datang. Aku ingin bertanya pada wanita itu, tapi aku tak sanggup untuk
mendengar jawabannya. Bisa saja apa yang dia katakan membuatku tak sadarkan
diri. Saat ini saja aku seperti orang ling-lung.
Keesokan
harinya kulihat pemuda itu keluar, dia nyaris melihatku dan aku bersembunyi di
balik pintu kamar. Kulempari dia dengan tutup botol plastik bekas minuman yang
terhambur di kamarku. Tutup botol yang kukumpulkan dan kugunakan untuk membuat
mozaik untuk mengisi waktuku yang sangat luang tanpa siapa pun. Dia menjerit,
dia mengendus kearah kamarku. Aku sudah tergolek di atas kasur dengan senyum
kemenangan. Kamarku sudah kukunci.
Tak
lama berselang, ketika aku sudah merasa aman. Aku keluar dari kamar, tetiba
wanita itu berjalan di depanku dengan segelas kopi ditangannya. Seperti biasa
dia menyeruput minuman hitam pekat itu, sebelum menghilang lagi. Dia tersenyum
padaku, tapi aku tak berminat membalas senyumnya. Dengan isyarat yang aku
mengerti maksudnya dia bertaya padaku bahwa apakah aku lapar. Aku menggeleng ̶
sebenarnya aku sangat lapar, tapi aku tak mau makan di depan perempuan kotor
itu.
***
Malam
itu, aku menyelesaikan mozaikku. Kali ini, mozaik dari guntingan kertas yang
pernah diajarkan wanita itu padaku ketika aku masih bisa dia bodohi dulu dengan
pesona kata yang aku sebut ibu. Ada gambar seorang anak perempuan kecil yang
bertubuh gempal, seorang wanita di sebelah kiri dan laki-laki berkumis di
sebelah anak itu ̶ tak tahu kenapa aku ingin memberikan kumis di atas bibir tipisnya.
Kupeluk
mozaik itu dalam-dalam di bawah pancaran bulan yang tepat menjatuhi aku di
balik jendela rumah kayu reok beratapkan seng tanpa plafon. Sejenak kurasakan
kehadiran mereka berdua di dekatku dengan penuh kasih. Tapi, aku sontak ingin
berteriak. Kuhancurkan mozaik itu ̶ kusobek-sobek
lalu kuremas hingga tak berbentuk.
Aku
menangis sejadi-jadinya. Malam ini wanita itu tak pulang. Aku hancur, pikiranku
berkecamuk; kemana lagi dia menjajakkan dirinya. Kupukuli diriku. Aku merasa
terlahir dengan tumpukan dosa manusia-mausia laknat.
“Bulan,
apakah Tuhan masih sayang padaku?” Aku merengek pada bulan di atas sana.
“Tentu,
kau anak yang manis!” Bulan menjawabku dengan memberiku harapan. Yah, Tuhan sayang padaku. Tapi, aku lelah
menunggu Tuhan. Kapan waktu itu datang? Do’aku yang pertama belum Kau genapkan
sampai saat ini.
***
Malam
itu, mungkin bulan masih ingat kala malam yang pertama aku terseok saat meteor
melesat. Aku mencuap harapan, meminta semoga ayah datang padaku. Aku, ayah dan
ibu. Aku hanya ingin ditemani. Lembaran-lembaran bukuku yang berisi jejeran
do’a ̶ tak satu pun menyongsong kenyataan.
Aku lelah, benar-benar
lelah. Malam ini dia tak pulang lagi. Dia pikir dengan hanya membuat perutku
diam itu sudah cukup. Aku ingin dia menimangku, aku bermain di atas pangkuan
mereka; ayah dan ibu. Kutarik kursi yang ada di depan kamarku, kuletakkan
sejajar dengan jendela tempatku sering mencongak; bercakap-cakap dengannya di atas
sana. Kali ini aku ingin duduk, aku tak sanggup berdiri lagi.
Dia menghampiriku dari
atas sana, dia duduk di pangkuanku. Kuusap permukaannya lagi. Dia manja hinggap
di pangkuanku. Aku memeluknya.
“Kau tahu bulan, hanya
Kau yang begitu mengertiku!” Aku menitihkan air di bibir mataku.
“Tapi aku tidak bisa
berbuat apa-apa untukmu”. Bulan mengelak, dia merasa sedih melihatku. Dia
sekarang terbang dan berhenti tepat di depanku.
“Kau cukup menemaniku,
mendengar suaraku yang tak mampu terdengar oleh telinga mana pun”. Aku
menghibur dia, kali ini giliranku membuatnya agak sedikit melayang karena telah
bersamaku.
“Aku tak bisa
mewujudkan mimpi-mimpimu”. Dia terlihat semakin lesuh. Dia berputar-putar
mengeliliku.
“Tidak, tidak. Kau
ingat saat kau menendang meteor yang mengelilingimu? Satu persatu dia jatuh dan
dengan itu aku bisa melempar mimpiku ke langit”. Aku kembali berusaha
membangkitkan semangatnya.
“Tapi tak ada satu pun
harapanmu yang terwujud. Tak aaaadaaa!” Dia berteriak dan meloncat dari
jendela. Nyaris jatuh menggapai tanah. Aku mengikutinya berharap dia tak
menyentuh tanah. Tempatmu adalah di langit, maka binasa lah dunia jika kau
menggapai bumi, pikirku.
***
Pagi itu, dia pulang
terlalu lama; menjelang siang. Aku telah terbang bersama bulan. Kulihat dia
tumbang ̶ aku bahagia. Dia merengek, dengan bertekuk dia mengangkat tubuhku
yang tergolek di tanah ke atas pangkuannya.
“Bulan! Anakku Bulan,
bangun Nak!” Dia berteriak sejadi-jadinya. Darah menetes dari tangannya yang
menopang leherku. Dia peluk aku dengan erat. Pelukan hangat yang tak pernah aku
jumpai lagi; merasainya pun sekarang aku tak lagi bisa.
Dia menemukan buku
lusuhku, buku tempatku menyulam do’a. Dia buka tiap lembarannya. Dia baca
pengharapan demi pengharapanku setiap meteor melesat. Mimpi yang sebenarnya tak
pernah berubah sejak aku pertama kali berdo’a sampai meteor terakhir yang
kujumpai. Aku hanya ingin ibu dan ayah menemaniku.
Kini aku telah puas,
terbang bersama yang kukasihi ̶ menemani bulan di langit. Menyaksikan ibu
sebatang kara seperti diriku dahulu. Kau tahu ibu, aku menyayangimu lebih dari
dirimu menyayangiku. Tapi, aku tak sanggup dalam sepi. Aku bahagia kini kau
berlutut memangkuku untuk terakhir kali; tak bergeming yang mirisnya harus
dalam tangisan.
Sempat aku berpikir
bahwa kau tak akan menangis karena aku. Sekarang kulihat kau berantakan seperti
kaca yang pecah berkeping. Tapi sudahlah ibu, aku sudah bahagia. Kini kau bisa
memeluk dan memangkuku dalam dukamu. Memangku Bulanmu.*
welcome to the world of blog, dila. :D Cerpennya keren! (y) :)
BalasHapusiyya.. hehe.. makasih sparkling autumn. Mohon cari kekurangannya (kritik dan saran). krn cerpen ini agak hancur d plot dan latar. :)
HapusSitus Judi Slot Online Gacor Terpercaya Indonesia - Airjordan3
BalasHapusSitus 토토중계 judi jordan 18 white royal blue super site slot online gacor terpercaya Indonesia. Bandar how to buy air jordan 18 retro red judi air jordan 18 retro red clearance online slot gacor deposit pulsa jordan 18 white royal blue from us tanpa potongan dan mainkan jackpot deposit via pulsa tanpa