Pages

MEMANGKU BULAN

Rabu, 08 Juli 2015



            Malam itu aku diserang oleh kepungan meteor. Satu persatu dari meteor itu menghunus tubuhku dengan kilatan cahayanya. Ternyata, di belahan planet yang disebut bumi, lucutan-lucutan meteor dinantikan oleh manusia. Mereka bersorak-sorai. Anak-anak tekuk dalam do’a, begitupun yang tua memanjatkan harapan-harapannya. Mereka percaya bahwa meteor yang melesat; bintang jatuh adalah waktu yang tepat untuk mencuap semoga.
            Seorang anak kecil bertubuh gempal berjalan terseok-seok mengejar lesatan yang begitu cepat ̶ malam itu adalah malam ke 10 dia berdo’a di bawah bintang jatuh. Semenjak ibunya bercerita bahwa kita bisa menanam harapan pada bintang jatuh, dia selalu menantikan malam-malam dengan kilatan cahaya pengharapan.
            Dia menuliskan semua harapan-harapannya pada buku dengan sampul lusuh ̶ bergambar diriku yang sudah tak utuh; serupa diriku yang sabit karena sobek. Setiap kali dia berdo’a di malam langka itu, dia selalu mencoret do’a yang telah dia panjatkan. Namun, anehnya dari 10 doa yang telah dia tunaikan malam itu tak ada satu pun yang terwujud.
            Sesekali dalam mimpi setelah berdo’a pengharapannya datang menyapanya, kemudian dia terbangun dengan kenyataan yang kembali harus dia hadapi sendiri. Beberapa hari yang lalu; kali terkahir ibunya datang lalu pergi lagi. Bukan salah ibu, bukan pula salahnya jika sendiri, dan tetap saja dia mempercayai kata-kata wanita bergincu merah itu tentang do’a dan bintang jatuhnya.

***
            Malam itu, dia datang ̶ itu malam pertama aku mengamuk dihadapannya. Aku tak ingin hidup bersama wanita seperti itu. Aku sudah kehilangan ayah yang baik dalam anganku; ayah yang memang tak pernah kukenali.
            Aku mengamuk seperti meraung-raung karena tak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku menulis dalam bulan ̶ kusampaikan padanya yang bertengger di langit semuak onggokan sampah yang membuatku sesak.
            “Kau tahu bulan, dari dulu aku berpikir bahwa kaulah ciptaan Tuhan yang paling bahagia!” Aku mengusap sang bulan.
            “Kenapa?” Bulan menanyaiku penasaran, dia merapat padaku.
            “Kau mampu menyaksikan bintang jatuh setiap saat, Kau mungkin sudah mengatupkan berjuta-juta do’a sejak kau terpajang di sana”. Aku terkekeh sendiri bercoleh seperti itu pada bulan.
            “Yah, itu menurutmu! Kau tak tahu saja aku di sini jenuh, hanya bisa melihat kau tanpa bisa bermain!” Bulan melanjutkan tawaku, dia sepertinya tergelitik dengan perkataannya sendiri.
            “Kau jenuh? Aku juga jenuh dengan diriku”. Aku membelakangi bulan, kurebahkan badanku di atas kasur yang kapuknya sudah beterbangan.
            “Kau tak boleh berkata seperti itu, aku di sini menyaksikan begitu banyak anak serupa dirimu dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menerangi mereka di kala malam. Kadang-kadang aku pun harus menyaksikan mereka meringis dan kesakitan. Sungguh menyesakkan”. Bulan murung, dia terlihat begitu sedih. Aku merasa bersalah telah bercerita padanya tentang kepedihan.
***
            Malam itu dia datang, membawa makanan kemudian keesokan harinya dia pergi lagi. Aku tak pernah sudih memakan makanannya semenjak dia melakukan itu di depan mataku. Tapi, lagi-lagi aku tak dapat bicara. Aku hanya mampu membanting-banting setiap benda yang ada di dekatku dan memukul-mukul diriku agar dia mengerti bahwa aku sangat kesal padanya.
            “Nak, tenanglah-tenanglah!” Katanya sambil berusaha untuk memelukku. Aku elakkan pelukannya, aku hempaskan tangannya yang berusaha membelaiku. Aku berteriak-teriak tanpa kekata yang teratur hurufnya. Tak ada yang mampu mengerti bahwa aku sakit. Batinku sesak, fisikku pun lelah.
            “Ini kertas sayang, Kau tulis di sini yah! Ibu tunggu, tapi kau tenang dulu!” Wanita itu memberikan pulpen dan secarik kertas kosong padaku. Aku remuk kertas itu, aku lempar pulpennya. Aku letih menulis, aku letih sendiri.
            Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Setiap kali melihat wajahnya aku merasa jijik. Aku membenci diriku. Dia yang membuatku terlahir tanpa dapat di peluk oleh ayahku sendiri. Ayah pun enggan mengakui aku sebagai putrinya. Setelah ayah pergi dia semakin menjadi, aku pun semakin membencinya. Andai saja ayah membawaku pergi; ikut bersamanya. Tapi, menoleh padaku pun ayah sepertinya tak selera.
            Di dalam hidup kita kadang menemukan pilihan-pilihan. Walau aku sendiri tak punya tawaran untuk memilih wanita atau pun lelaki ̶ kusebut ayah. Hidup bersamanya; seorang wanita adalah hadiah terbaik untukku. Tapi, semenjak malam-malam setelah itu ̶ aku menjadi tahu alasan ayah membenciku.
***
            Malam itu, kala kelam kian menohok. Seorang wanita masuk dengan tergopoh-gopoh, dia dirangkul oleh seorang pemuda. Aku pikir pemuda itu lebih tepat kusebut kakak dan wanita itu lebih pantas menyebutnya denga sapaan Nak. Tapi, ketika aku melihat pemuda itu mengecup wanita yang layak menjadi ibunya ̶ dadaku sesak, aku ambruk. Wanita itu menggiringnya masuk ke dalam kamar, aku meringis dan menangis sejadi-jadinya.
            Selama ini aku selalu mencari ayahku tapi kali ini aku sudah paham. Mengapa ayahku tak pernah datang. Aku ingin bertanya pada wanita itu, tapi aku tak sanggup untuk mendengar jawabannya. Bisa saja apa yang dia katakan membuatku tak sadarkan diri. Saat ini saja aku seperti orang ling-lung.
            Keesokan harinya kulihat pemuda itu keluar, dia nyaris melihatku dan aku bersembunyi di balik pintu kamar. Kulempari dia dengan tutup botol plastik bekas minuman yang terhambur di kamarku. Tutup botol yang kukumpulkan dan kugunakan untuk membuat mozaik untuk mengisi waktuku yang sangat luang tanpa siapa pun. Dia menjerit, dia mengendus kearah kamarku. Aku sudah tergolek di atas kasur dengan senyum kemenangan. Kamarku sudah kukunci.
            Tak lama berselang, ketika aku sudah merasa aman. Aku keluar dari kamar, tetiba wanita itu berjalan di depanku dengan segelas kopi ditangannya. Seperti biasa dia menyeruput minuman hitam pekat itu, sebelum menghilang lagi. Dia tersenyum padaku, tapi aku tak berminat membalas senyumnya. Dengan isyarat yang aku mengerti maksudnya dia bertaya padaku bahwa apakah aku lapar. Aku menggeleng ̶ sebenarnya aku sangat lapar, tapi aku tak mau makan di depan perempuan kotor itu.
***
            Malam itu, aku menyelesaikan mozaikku. Kali ini, mozaik dari guntingan kertas yang pernah diajarkan wanita itu padaku ketika aku masih bisa dia bodohi dulu dengan pesona kata yang aku sebut ibu. Ada gambar seorang anak perempuan kecil yang bertubuh gempal, seorang wanita di sebelah kiri dan laki-laki berkumis di sebelah anak itu ̶ tak tahu kenapa aku ingin memberikan kumis di atas bibir tipisnya.
            Kupeluk mozaik itu dalam-dalam di bawah pancaran bulan yang tepat menjatuhi aku di balik jendela rumah kayu reok beratapkan seng tanpa plafon. Sejenak kurasakan kehadiran mereka berdua di dekatku dengan penuh kasih. Tapi, aku sontak ingin berteriak. Kuhancurkan mozaik itu ̶  kusobek-sobek lalu kuremas hingga tak berbentuk.
            Aku menangis sejadi-jadinya. Malam ini wanita itu tak pulang. Aku hancur, pikiranku berkecamuk; kemana lagi dia menjajakkan dirinya. Kupukuli diriku. Aku merasa terlahir dengan tumpukan dosa manusia-mausia laknat.
            “Bulan, apakah Tuhan masih sayang padaku?” Aku merengek pada bulan di atas sana.
            “Tentu, kau anak yang manis!” Bulan menjawabku dengan memberiku harapan. Yah, Tuhan sayang padaku. Tapi, aku lelah menunggu Tuhan. Kapan waktu itu datang? Do’aku yang pertama belum Kau genapkan sampai saat ini.
***
            Malam itu, mungkin bulan masih ingat kala malam yang pertama aku terseok saat meteor melesat. Aku mencuap harapan, meminta semoga ayah datang padaku. Aku, ayah dan ibu. Aku hanya ingin ditemani. Lembaran-lembaran bukuku yang berisi jejeran do’a ̶ tak satu pun menyongsong kenyataan.
Aku lelah, benar-benar lelah. Malam ini dia tak pulang lagi. Dia pikir dengan hanya membuat perutku diam itu sudah cukup. Aku ingin dia menimangku, aku bermain di atas pangkuan mereka; ayah dan ibu. Kutarik kursi yang ada di depan kamarku, kuletakkan sejajar dengan jendela tempatku sering mencongak; bercakap-cakap dengannya di atas sana. Kali ini aku ingin duduk, aku tak sanggup berdiri lagi.
Dia menghampiriku dari atas sana, dia duduk di pangkuanku. Kuusap permukaannya lagi. Dia manja hinggap di pangkuanku. Aku memeluknya.
“Kau tahu bulan, hanya Kau yang begitu mengertiku!” Aku menitihkan air di bibir mataku.
“Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu”. Bulan mengelak, dia merasa sedih melihatku. Dia sekarang terbang dan berhenti tepat di depanku.
“Kau cukup menemaniku, mendengar suaraku yang tak mampu terdengar oleh telinga mana pun”. Aku menghibur dia, kali ini giliranku membuatnya agak sedikit melayang karena telah bersamaku.
“Aku tak bisa mewujudkan mimpi-mimpimu”. Dia terlihat semakin lesuh. Dia berputar-putar mengeliliku.
“Tidak, tidak. Kau ingat saat kau menendang meteor yang mengelilingimu? Satu persatu dia jatuh dan dengan itu aku bisa melempar mimpiku ke langit”. Aku kembali berusaha membangkitkan semangatnya.
“Tapi tak ada satu pun harapanmu yang terwujud. Tak aaaadaaa!” Dia berteriak dan meloncat dari jendela. Nyaris jatuh menggapai tanah. Aku mengikutinya berharap dia tak menyentuh tanah. Tempatmu adalah di langit, maka binasa lah dunia jika kau menggapai bumi, pikirku.
***
Pagi itu, dia pulang terlalu lama; menjelang siang. Aku telah terbang bersama bulan. Kulihat dia tumbang ̶ aku bahagia. Dia merengek, dengan bertekuk dia mengangkat tubuhku yang tergolek di tanah ke atas pangkuannya.
“Bulan! Anakku Bulan, bangun Nak!” Dia berteriak sejadi-jadinya. Darah menetes dari tangannya yang menopang leherku. Dia peluk aku dengan erat. Pelukan hangat yang tak pernah aku jumpai lagi; merasainya pun sekarang aku tak lagi bisa.
Dia menemukan buku lusuhku, buku tempatku menyulam do’a. Dia buka tiap lembarannya. Dia baca pengharapan demi pengharapanku setiap meteor melesat. Mimpi yang sebenarnya tak pernah berubah sejak aku pertama kali berdo’a sampai meteor terakhir yang kujumpai. Aku hanya ingin ibu dan ayah menemaniku.
Kini aku telah puas, terbang bersama yang kukasihi ̶ menemani bulan di langit. Menyaksikan ibu sebatang kara seperti diriku dahulu. Kau tahu ibu, aku menyayangimu lebih dari dirimu menyayangiku. Tapi, aku tak sanggup dalam sepi. Aku bahagia kini kau berlutut memangkuku untuk terakhir kali; tak bergeming yang mirisnya harus dalam tangisan.
Sempat aku berpikir bahwa kau tak akan menangis karena aku. Sekarang kulihat kau berantakan seperti kaca yang pecah berkeping. Tapi sudahlah ibu, aku sudah bahagia. Kini kau bisa memeluk dan memangkuku dalam dukamu. Memangku Bulanmu.*

3 komentar

  1. welcome to the world of blog, dila. :D Cerpennya keren! (y) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyya.. hehe.. makasih sparkling autumn. Mohon cari kekurangannya (kritik dan saran). krn cerpen ini agak hancur d plot dan latar. :)

      Hapus
  2. Situs Judi Slot Online Gacor Terpercaya Indonesia - Airjordan3
    Situs 토토중계 judi jordan 18 white royal blue super site slot online gacor terpercaya Indonesia. Bandar how to buy air jordan 18 retro red judi air jordan 18 retro red clearance online slot gacor deposit pulsa jordan 18 white royal blue from us tanpa potongan dan mainkan jackpot deposit via pulsa tanpa

    BalasHapus

 

WHAT TIME IS IT?

Tags

Most Reading

VISIT

Followers