Malam itu aku
diserang oleh kepungan meteor. Satu persatu dari meteor itu menghunus tubuhku
dengan kilatan cahayanya. Ternyata, di belahan planet yang disebut bumi,
lucutan-lucutan meteor dinantikan oleh manusia. Mereka bersorak-sorai. Anak-anak
tekuk dalam do’a, begitupun yang tua memanjatkan harapan-harapannya. Mereka
percaya bahwa meteor yang melesat; bintang jatuh adalah waktu yang tepat untuk
mencuap semoga.
Seorang
anak kecil bertubuh gempal berjalan
terseok-seok mengejar lesatan yang begitu cepat ̶ malam itu adalah malam ke 10
dia berdo’a di bawah bintang jatuh. Semenjak ibunya bercerita bahwa kita bisa
menanam harapan pada bintang jatuh, dia selalu menantikan malam-malam dengan
kilatan cahaya pengharapan.
Dia
menuliskan semua harapan-harapannya pada buku dengan sampul lusuh ̶ bergambar
diriku yang sudah tak utuh; serupa diriku yang sabit karena sobek. Setiap kali
dia berdo’a di malam langka itu, dia selalu mencoret do’a yang telah dia
panjatkan. Namun, anehnya dari 10 doa yang telah dia tunaikan malam itu tak ada
satu pun yang terwujud.
Sesekali
dalam mimpi setelah berdo’a pengharapannya datang menyapanya, kemudian dia terbangun
dengan kenyataan yang kembali harus dia hadapi sendiri. Beberapa hari yang
lalu; kali terkahir ibunya datang lalu pergi lagi. Bukan salah ibu, bukan pula
salahnya jika sendiri, dan tetap saja dia mempercayai kata-kata wanita bergincu
merah itu tentang do’a dan bintang jatuhnya.